Sekolahku..oh sekolahku (Miris Jilid 4)

uda lama banget ga nulis blog ini, baru dapet inspirasi dan informasi. Hmm..mengenai berita terbarukah? bukan kayanya. Ini berita mungkin uda lama dan ga pernah banyak yang bener-bener tau. Tapi gw sepertinya pengen ngebahas masalah ini deh disini.

Apaan kira-kira yang bakal dibahas disini?

Yak, mengenai penurunan kualitas (baik akademik, non akademik, perilaku, sikap dll) di sebuah Sekolah. 

Gw dari taun 2011 kemaren sebenernya uda ngamatin perubahan signifikan pada sekolah ini. Sekalian gw juga dateng karena memang ada keperluan untuk memantau kegiatan ekskul di sekolah ini. Sebenernya gw uda mulai "ngeh" dengan gelagat ini 5 taun belakangan. Parameter yang gw pake untuk mengetahui standar ini adalah, ya ade-ade gw yang ikut ekskul ini tentunya. Gw bener-bener agak kewalahan untuk mengikuti tren yang ada pada anak-anak ini 5 tahun terakhir. Yang paling ketara adalah, sifat dan perilaku mereka yang cenderung sangat manja, sedikit usaha, mengeluh, banyak alasan dan lain-lain. Ada apa sama generasi ini? Setau gw, anak-anak yang masuk di sekolah ini adalah anak-anak pilihan. Dan melalui proses yang ketat pula anak-anak ini bisa bersekolah disini. Tapi seperti jauh panggang dari api, standar kualitas mereka-mereka yang diterima di sekolah ini kenapa jauh sekali daripada angkatan-angkatan diatasnya yang masuk antara taun 1999-2005, dan bahkan diatasnya lagi (sekedar catetan, gw mulai jadi anak SMA taun 2001).

Banyak sekali permasalahan yang muncul disini (sekali lagi parameter yang gw pake adalah ade-ade kelas gw di ekskul) pada perkembangan setelah taun 2007.  Apakah murid-murid macem gini layak masuk SMA yang di banggakan oleh masyarakat Depok? Cuman gini doank kualitas mereka sekarang? Dan petanyaan itu terjawab sudah dari segi prestasi yang mereka raih (antara 2008-2011). Minim banget prestasinya. Beda sama angkatan atas-atasnya yang selalu berprestasi baik akademik maupun non akademik. Mereka ini menjadi manusia-manusia robot yang sama sekali ga bisa berimajinasi, apalagi kreatif berinovasi. Jangankan untuk kaya gitu, nangkep omongan dari alumni aja (ini uda pake bahasa yang sangat sederhana dan SMA banget-RED), untuk penjelasan yang gampang, mereka kesulitan. Jawabnya iya, bisa, sanggup, tapi pada kenyataannya, nol besar.

Kemudian yang terjadi adalah, dari segi infrastruktur sekolah. Memang sih sekolah ini sedang giat membangun. Tapi yang jadi pertanyaan adalah, duit darimana bisa ngebangun sebuah sekolah negeri dengan (katanya) cuman ngandeli subsidi Pemerintah Depok (yang kita uda tau kalo sumbangan/subsidi macem gini tukang sunatnya kaya semut, banyak banget), dan mereka bisa ngebangun sekolah ini dalam waktu setaun. Menambah lantai menjadi 2 lantai, merubuhkan bangunan lama untuk kemudian ditambah pula lantainya, dari segi logika gw sebagai seorang appraisal properti, itu butuh biaya yang sangat-sangat besar (gw mulai liat pembangunan ini pada pertengahan 2011). Dan akhirnya yang terjadi apa, sesuai dengan dugaan gw, bangunan tersebut sudah mulai menuai masalah. Banyak atap-atap dak yang mulai dilumutin, sehingga membuat plafon atap tersebut, terlihat menghitam. Belum lagi kondisi pintu yang menurut gw itu sangat tidak mencerminkan sebagai sekolah yang worthed di Depok. Masa selang 2 kelas, bentuk dan jenis bahan pintu bisa beda? kan aneh banget. Kemudian ukuran pintu di gedung baru yang berlantai tiga, ukuran lebar pintu berbeda antara lantai 1 dengan lantai 2 dan 3. Kemudian peletakan jendela yang terlalu tinggi untuk standar duduk siswa-siswa, yang menyebabkan ketika duduk siswa tidak bisa melihat keluar jendela karena letak jendela yang tinggi (mesti diri dulu baru bisa liat keluar). Belom lagi cat tembok sekolah ini yang sangat berwarna warni, gedung lama berwarna hijau terang, sedangkan yang baru berwarna krem dan cenderung ada yang sedikit pink. Dan yang parah, jendela-jendela yang terbuat dari rangka alumumiun ini sudah mulai banyak yang rusak, plafon dalam kelas sudah ada beberapa yang runtuh, dan kursi serta meja yang sudah mulai banyak yang keropos di umurnya yang baru jalan setaun.

Terlihat jelas ada pembangunan yang dipaksakan di sekolah ini. Pertanyaan berikutnya, perlukah pembangunan ini dijalankan? Untuk apakah dibangun dengan terburu-buru sehingga tidak menghasilkan bentuk bangunan yang bagus, berkualitas, dan justru malah memperlihatkan adanya "ketidakberesan manajemen" di sekolah ini? ini baru urusan bangunan, belom lagi kurikulum, sistem manajemen sekolah, serta output yang dihasilkan, ya murid-muridnya sendiri. Sepertinya, menurut pendapat gw, ada seperti sistem "kejar target" yang dibuat oleh pimpinan tertinggi sekolah ini. Seperti ingin ada pencitraan tersendiri yang sengaja di bikin supaya ada yang sengaja dihilangkan dari dasar "mendidik orang" di sekolah ini. Ada sebuah desain, seolah-olah (ato mungkin beneran), yang penting luarnya dulu yang keren, dalemnya bisa diatur. Biar gw runutin dulu ya. Pembangunan ga mungkin bisa berjalan tanpa biaya. Sedangkan biaya subsidi pasti banyak tukang sunatnya. Dan akhirnya apa yang terjadi? ya minta dibebankanlah dari orang tua murid dengan persyaratan, anak mereka bisa bersekolah disini (SMA dambaan siswa-siswi di Depok gitu, siapa yang ga mau sekolah disini?). Gw juga yakin banget ada "permainan" elit lokal disini . (menurut gw doank ini - RED). Jadi sistem slot kosong untuk para kerabat orang penting di Depok mulai diberlakukan. Jadi sistem main mata macem gini, yang dulu ga pernah ada, sekarang terjadi di sekolah ini (mungkin). 

Hasil dari kejadian-kejadian diatas kemudian adalah, ya kualitas siswa yang berada di dalam sekolah ini pun akan menunjukkan kejanggalan. Pastinya dengan standar tinggi sekolah ini hanya menerima lulusan-lulusan terbaik dari SMP, kemudian disaring dengan serangkaian sistem, dari mulai jurnal dan lain-lain maka akhirnya yang terbaiklah yang masuk. Logikanya begitu, tapi dengan adanya sistem penerimaan yang baru sekarang, maka akan rawan sekali yang namanya susup menyusup ato suap menyuap. Siswa-siswi yang masuk hanya beberapa saja yang masih terlihat kecerdasannya maupun kepintarannya. Yang lain? No way. Logika gampang lagi adalah, ketika dulu gw dan temen-temen angkatan gw, banyak sekali ngikutin ekskul (1 orang bisa 2-3 ekskul yang diikutin dan aktif semua), aktif berorganisasi di OSIS SMA, tetapi ga ada pelajaran yang keteteran. Lalu misal ekskul paskib, yang notabene punya trademark sadis, bikin item, diomel-omelin dll, peminatnya semakin sedikit, apalagi pramuka, punah gan di sekolah ini (mati suri deh, karena sekarang mau diidupin lagi). Terbukti kecerdasan dan kepintaran mereka tidak ato bahkan jauh dibawah senior-senior mereka yang lebih dulu menimba ilmu di sekolah ini. Mereka seperti tidak mampu untuk mengimbangi kegiatan-kegiatan non akademik yang dipilihnya. Sehingga berdampak kepada prestasi akademik disekolah. Dan akhirnya, mudah ditebak, suruh keluar deh sama Ortu mereka dari ekskul ato organisasi tersebut karena dijadikan kambing hitam turunnya prestasi. Tapi ketika kita melihat dari segi pelajaran, kalo mereka beneran pinter, harusnya prestasi ga akan kering bok. Nah ini prestasi kering banget, paling cuma 1 ato 2 piala aja yang dibawa pulang, itu juga mungkin ga juara umum. Prestasi non akademik pun sama aja, ga ada yang bener-bener seperti jaman gw sekolah dulu.

Prihatin gw ngeliat ini. Ditambah gw kebetulan ketemu guru yang deket sama gw waktu sekolah dulu. Beliau cerita sama gw mengenai perkembangan sekolah ini. Dan gw kaget ketika apa yang gw pikirin di atas, dialami juga dan dirasakan juga oleh sebagian guru-guru senior di sekolah gw. Tapi gw kan bukan tenaga pendidik, jadi gw berpandangan begitu ga akan ngaruh apa-apa, tapi kalo guru? ada beban moral yang membuat para guru menjadi dilematis menghadapi persoalan ini. Sampe-sampe Beliau mengatakan satu statement yang bikin perasaan gw antara pengen ngakak, tapi sekaligus miris dan sedih, gini Beliau bilang "Kalo anak-anak sekarang mah, setelah penerimaan siswa baru, terus diadakan tes potensi, pasti hasilnya ga jauh beda, 60% doang yang layak diterima disini, 40% sisanya adalah anak-anak alay!" pernyataan yang bener-bener bikin gw ketawa-tawa ga berenti ketika ngobrol sama beliau. Tapi ketika dipikirin lagi, oh ini dia penyebab kemundurannya. Semua yang gw pikirin selama ini akhirnya nemu jawaban yang kongkrit dari pelakon ato mungkin korban dari Desain penghancuran pendidikan brengsek ini. Gw kasian sama guru gw ini, dan mungkin juga guru-guru senior lainnya, yang mengabdikan diri mereka sepenuh hati, tapi menjadi dilematis, terpojok, menyedihkan keadaannya ketika berada di sekolah yang sangat dicintainya (gw juga cinta sama sekolah ini). 

Pertanyaan selanjutnya, mau sampe kapan percobaan bunuh diri ini akan terus berlangsung? Mau sampe kapan Guru-guru yang gw hormatin itu berada dalam keadaan yang dilematis kaya gitu? Mau sampe kapan banyak siswa yang alay itu bersekolah di sekolah gw yang gw cintain ini? Dan mau sampe kapan siswa-siswi berotak encer itu mendapatkan pendidikan yang pantas? Buram banget protret Pendidikan disini. Mungkin ini terjadi ga cuman disekolah ini tapi juga diseluruh Indonesia, bahkan dunia, karena ada jargon yang berlaku "yang miskin dilarang sekolah". Beginilah grand design penghancuran pendidikan di Indonesia berjalan. Menutup satu generasi menjadi calon-calon robot operator para elit. Dan ini ga cuman di tingkat SMA, gw yakin dari mulai TK sampe perguruan tinggi seperti itu. Apakah mau kita diginiin terus? Mau jadi apa ni negara kalo pondasinya kaya gini di dasar?         

Komentar

Postingan Populer