Budaya (Anti) Antri, Yakin Nih Mau di Pelihara Terus?

Bagi sebagian orang, mungkin hal-hal yang berharga itu berupa harta benda, atau yang berbentuk fisik. Tetapi apakah hal-hal yang tak berwujud tidak bisa menjadikannya berharga? Budi perkerti menurut gw adalah sesuatu hal yang sangat berharga, karena budi pekerti inilah yang membawa suatu bangsa menuju kepada kemakmurannya. Adanya kesadaran dalam berhubungan antar manusia, toleransi, meredam ego masing-masing demi kepentingan bersama itu adalah hal yang sangat berharga belakangan ini, dan itu sudah sangat langka terjadi di Indonesia, walaupun tidak sepenuhnya hilang.

Ilustrasi Antri. Sumber Gambarhttp://www.radarbogor.id

Siapa bersalah? 

Salah siapa sih sebenarnya sampai-sampai budaya luhur seperti ini menjadi luntur dan bahkan perlahan mulai hilang? Jika merunut kepada siapa yang salah ya bakalan susah dan tidak ada penyelesaian. Sekarang ini bukan saatnya untuk salah-salahan. Tetapi kita berusaha untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan yang ada. Permasalahan dimulai menurut gw itu ketika kecil. Madrasah kehidupan terbaik itu adalah keluarga, yang disini ada peran orang tua dalam pendidikan kehidupan awal anak-anaknya. Inilah yang harus ditekankan dari awal. Budaya antri atau jenis budi pekerti lainnya pun berawal dari sini. Jika sedini mungkin tidak diajarkan yang namanya budaya antri, ya kedepannya si anak tersebut akan terbiasa untuk tidak antri, dan efeknya bisa jadi si anak akan semakin kacau berbudi pekertinya dan khawatirnya akan merugikan dirinya sendiri, bahkan sampai merugikan orang lain. Orang tua mengajarkan dengan contoh. Jika tidak dicontohkan, anak kecil tidak akan mengerti sepenuhnya. Jika kita ingin anak kita belajar mengenal Tuhan, maka harus diajarkan beribadah, bukan hanya mendatangkan guru agama privat kerumah sementara orang tua tidak mencontohkan bahwa dia pun menjalankan ibadah kepada Tuhan tersebut. Anak akan mencontoh orang tuanya, dan pada akhirnya biasanya akan terjadi, si anak kabur-kaburan tidak ingin belajar padahal guru sudah datang, dan alasan-alasan lainnya yang intinya adalah menghindar untuk diajarkan hal-hal spritiual tersebut.

Contoh Sehari-hari 

Antri makanan di resepsi. Sumber Gambarhttps://www.arrahman.id

Mengantri pun harus diajarkan seperti itu. Memberi contoh yang baik dan nyata adalah pengajaran termudah bagi anak yang kelak menjadi Individu dewasa berkelakuan baik dan tidak merugikan orang lain. Budaya mengantri ini sepertinya adalah hal yang remeh temeh bagi sebagian warga negara +62 ini.  Tidak sedikit dari saudara-saudara kita di negeri tercinta ini menganggap hal ini sebagai hal yang perlu untuk di lewatkan, sebagai pemenuh hasrat ego pribadinya. Lalu pada akhirnya karena ego ketemu ego lainnya yang sejenis, maka terjadilah kekacauan entah dalam bentuk adu mulut bahkan ada yang sampai baku hantam yang berujung ke permasalahan hukum. Berat sekali efek yang ditimbulkan dari hal yang seharusnya tertanam dengan baik dalam benak tiap manusia Indonesia, tetapi diabaikan begitu saja. Sebagai contoh kecil saja pengalaman – pengalaman gw ketika datang ke resepsi pernikahan entah kerabat dekat, teman seperjuangan, atau orang tidak dikenal karena mewakili orang tua atau mertua gw hadir. Kekacauan biasanya dimulai setelah sesi salam-salaman yang berakhir di gubukan yang mengundang selera manusia yang lapar dan haus akan makanan gratisan. Kenapa gubukan? Karena gubukan biasanya menyediakan masakan yang agak lain dari biasanya. Entah itu menu reguler seperti es doger, siomay, dimsum, soto atau menu yang agak sedikit banyak peminat dikarenakan jarang ditemui seperti zuppa soup atau kambing guling. Ingat awal mula kegagalan adab ini adalah karena biasanya jumlah makanan yang disediakan seringkali sedikit untuk satu porsinya sehingga manusia-manusia yang datang biasanya tidak ingin kehilangan momen dan jatah mereka. Pada awalnya antri ya untuk orang-orang yang waras dan tahu diri serta aturan dalam mengantri. Tetapi itu semua akan berakhir pada kekacauan ketika ada satu atau dua orang yang mulai menyalip ditengah-tengah antrian yang membuat orang-orang yang antri dibelakangnya menjadi jengah. Saling sindir tidak terhindarkan, dan tidak jarang pula ada sedikit rusuh yang membuat resepsi yang seharusnya mempererat tali silaturahmi menjadi sedikit ternoda oleh insiden yang kampungan ini. Pelakunya yang gw sering amati adalah orang-orang yang mirisnya adalah yang sudah makan asam garam kehidupan ya biasanya. Bukan anak-anak, atau bahkan generasi muda umur-umur 20-an rekan-rekan dari mempelai yang memang biasanya jumlahnya lebih sedikit dari senior-senior ini (biasanya jatah undangan rekan mempelai memang kalah banyak dengan rekan orang tua maupun besan), walaupun ada juga anak-anak muda yang melakukan hal tidak baik ini di resepsi.  

Efeknya terhadap yang muda

Miris melihat kejadian seperti ini dilakukan orang-orang yang hampir pasti sudah menjadi orang tua, walaupun tidak semuanya begitu. Contoh seperti ini  jelas bukan sesuatu yang baik. Apalagi jika dilihat oleh anak-anak yang sekolahnya masih di sekolah dasar misalnya. Bisa gagal pengajaran budi pekerti (jika masih diajarkan) oleh guru disekolah mereka hanya karena melihat kelakuan orang tua mereka yang kurang baik seperti ini. Hal ini dapat menyebabkan si anak kelak berkembang menjadi anak-anak yang “suka-suka gue” karena mencontoh orang tuanya. Sudah dapat dilihat saat ini akhirnya banyak juga generasi muda yang bertindak serobot sana sini, anti antri, dan tidak sabaran seperti ini. Mungkin pada awalnya mereka ketika kecil diajarkan hal seperti itu juga, bukan mau menuduh orang tuanya, tetapi kembali lagi, perilaku anak biasanya meniru orang tuanya, dan juga ada faktor eksternal seperti pergaulan yang membuatnya seperti ini. Harusnya disini juga peran orang tua sebagai penyaring atau filter mereka. Karena mereka juga sedang mencari jati diri mereka, mau jadi apa mereka kedepannya, minat utamanya seperti apa dan apa yang harus mereka lakukan untuk membina hubungan baik dengan orang lain. Sekolah hanya fasilitas pendukung, tetapi pembangunan karakter individu itu kembali lagi kedalam rumah. Pondasi utamanya ya dimulai dari rumah dahulu.

Selalu diberi peluang

Saat ini banyak orang, termasuk yang sudah menjadi orang tua, selalu mencari pembenaran akan hal ini (soal antri). Banyak alasan yang dikemukakan ketika hendak melanggar aturan tak tertulis masalah antri ini, entah itu buru-buru, sedang sakit dan sebagainya. Kepentingan-kepentingan pribadi ini yang harusnya diminimalisir supaya lebih tertib dalam menggunakan fasilitas umum atau datang ketempat dimana khalayak ramai berkumpul. Satu orang memicu pelanggaran ini, biasanya orang lain akan ikut dan kemudian terdengar tuntutan untuk diistimewakan juga. Sebenarnya tidak perlu ada tindakan aparat atau rambu-rambu penjelas peraturan ini karena ini harusnya sudah menjadi kesadaran masing-masing individu, tapi pada kenyataannya hal ini tidak berlaku. Bahkan petugas-petugas yang berusaha mentertibkan pun kadang tidak kuasa menahan kekacauan akibat egoisme beberapa orang ini. Kadang pula otoritas yang berwenang memberikan peluang untuk itu yang biasa kita kenal dengan “main belakang”, “jalur khusus” atau “kenal orang dalam”. Kata-kata ini menjadi sangat sakti untuk menghidupkan keangkuhan seseorang menjadi orang yang kebal aturan, sehingga pada akhirnya muncullah arogansi di muka umum. Jangan heran pula banyak kita temukan di jalan raya banyak yang menyalip seenaknya dari kiri, atau meminta jalan, hanya dengan membunyikan sirine yang harusnya hanya dimiliki pihak tertentu. Sungguh hal yang sangat memalukan tapi masih sering kita temui.

Kuncinya adalah Edukasi Budi Pekerti sedini mungkin

Konklusi & Saran

Atas dasar itu pulalah menurut gw, edukasi sedini mungkin mengenai budi pekerti adalah salah satu solusinya. Keadaan seperti ini jelas tidak akan membuat bangsa ini maju. Bahkan hanya akan semakin terpuruk, siapapun yang memimpin negara ini kelak. Atau bisa juga digalakkan aturan-aturan yang bersikap absolut, bahkan cenderung seperti tangan besi, walaupun ini akan sangat menimbulkan pro dan kontra. Pendidikan adalah hal yang fundamental bagi bangsa ini, seharusnya. Tetapi melihat keadaan saat ini dimana masih banyak anak putus sekolah, atau diajarkan asal-asalan oleh guru mereka disekolah dikarenakan si guru yang kurang ikhlas (karena urusan gaji yang memprihatinkan sekali), dapat menjadi penyebab anak-anak di Indonesia tumbuh menjadi pribadi yang kurang terdidik, bahkan cenderung kampungan. Itu bisa jadi turun temurun karena orang tua merekapun dimasa lalu tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Rantai kesulitan masalah pendidikan inilah yang harus diputus, digantikan oleh pendidikan yang mumpuni, dengan budi pekerti sebagai dasar utamanya. Percuma diajarkan  sains atau ilmu sosial, kemudian berhasil mencetak generasi pintar dan cerdas, tapi tidak kuat pondasi moralnya. Adanya dengan kepintaran dan kecerdasan mereka, bisa mereka gunakan untuk hal yang negatif. Ilmu seperti mata pisau, tergantung siapa yang memegang dan kearah mana mereka mengarahkannya. Pembentukan karakter dengan pendidikan budi pekerti, sekali lagi, dapat membantu, minimal mengurangi rusaknya budaya antri yang luhur ini.

Komentar

Postingan Populer